NUAITY NEWS, JAKARTA — Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan kehadiran pemain internet baru tidak serta merta berarti pemerataan akses internet.
Perusahaan internet hanya tertarik pada wilayah kaya yang memiliki laba atas investasi tertentu.
Muhammad Arif, Ketua Umum APJII, mengatakan tiga tahun lalu jumlah ISP meningkat dua kali lipat menjadi sekitar 1.170, bahkan kini hampir setiap minggunya ada pemain baru.
Sayangnya, spesies baru ini tidak menghalangi penyebaran Internet secara merata di wilayah tersebut. Pemain baru hanya tertarik memasuki pasar yang dianggap menguntungkan, seperti Pulau Jawa.
“Apa yang sedikit merepotkan” Karena banyaknya penulis di Indonesia Mengapa internet tidak merata? Ini masalahnya,” kata Arif dalam Forum Bisnis Indonesia tentang Kesetaraan Internet di Wilayah 3T yang diselenggarakan Pemerintahan Presiden Jokowi di Wisma Bisnis Indonesia, Batavia, Rabu, 10/2/2567.
Selain itu, kata Arif, pemerintah telah mendukung infrastruktur distribusi Internet mulai dari Base Transceiver (BTS) hingga proyek satelit Satria di Palapa Ring.
“Kita masih heran kenapa ruangnya masih sekitar 20%,” imbuhnya.
Namun, Arif menyayangkan ribuan ISP yang terhubung hanya di 13 kota besar.
“Lebih dari 70% penyedia layanan mempekerjakan orang di Jawa. “Ini adalah sebuah kesalahan. Mengapa cakupan di Indonesia tidak merata?,” jelasnya.
Arif melihat ada beberapa faktor yang membuat ISP sulit masuk ke ruang 3T, antara lain Limit, Limit, dan Kerugian.
Kesulitan utama adalah akses infrastruktur: “Sangat sulit, ketika topologinya sangat kompleks, pegunungan, sangat sulit ketika infrastruktur 3T mencapai, tidak pernah perspektif fiber. Pun dengan menaranya,” ujarnya.
Kedua, Arif mengemukakan, ketersediaan tulang punggung pengontrol khususnya di daerah terpencil juga menjadi faktor sulitnya penyebaran distribusi internet di daerah tersebut.
Namun harga layanan internet antar pulau menunjukkan bahwa persaingannya tidak terlalu besar. Ia mengatakan, harga yang ditawarkan tidak sama dengan layanan internet yang diterimanya.
Kalau di Batavia Rp 200.000 untuk 30-50 Gb atau sekitar Pulau Jawa, tapi di Kalimantan atau Sumatera sama saja Rp 200.000 tapi hanya 2-3GB, ujarnya.
Menariknya, lanjut Arif, daya beli masyarakat hampir sama dengan di perkotaan dan non-komersial. Menurut dia, keadaan ini disebabkan harga bahan baku yang lebih mahal, dan infrastruktur yang masih kurang memadai.
“Ketika pasokan terlalu banyak dan hanya ada permintaan. Operasi ekologis akan mempengaruhi struktur industri.” Perang harga tidak bisa dihindari,” tambahnya.
Untuk itu, Arif meminta adanya kerja sama antara pemerintah dan regulator melalui upaya stimulus atau insentif.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel.
Leave a Reply